PERLINDUNGAN TRADE DRESS SEBAGAI IDENTITAS PRODUK MULTI LEVEL MARKETING (MLM)
Rabu, 20 Agustus 2025 pukul 14.15
Administrator
PERLINDUNGAN TRADE DRESS SEBAGAI IDENTITAS PRODUK MULTI LEVEL MARKETING (MLM)

Produk yang dipasarkan melalui sistem penjualan langsung atau Multi Level Marketing (MLM) memiliki karakteristik distribusi yang sangat berbeda dibandingkan dengan produk-produk dalam sistem perdagangan ritel konvensional. Sistem distribusi MLM didasarkan pada prinsip penjualan tertutup dan eksklusif, di mana produk hanya dapat dipasarkan melalui jaringan mitra usaha atau distributor resmi yang telah terdaftar dan memperoleh otorisasi dari perusahaan penyelenggara. Distribusi dilakukan melalui relasi langsung antara penjual dan konsumen, dengan pendekatan berbasis edukasi, konsultasi, dan hubungan personal, sehingga penjualan produk melalui pihak ketiga seperti marketplace secara langsung bertentangan dengan model dan filosofi usaha MLM itu sendiri.


Namun, dalam praktiknya semakin banyak ditemukan produk MLM yang dijual secara bebas di berbagai platform marketplace oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, bahkan dalam banyak kasus oleh akun-akun anonim atau penjual yang tidak terafiliasi dengan perusahaan MLM tersebut. Peredaran semacam ini melanggar sistem distribusi eksklusif dan merusak struktur jaringan bisnis yang telah dibangun oleh perusahaan dan mitra-mitranya. Fenomena yang paling merugikan adalah praktik “cutting price”, yaitu penjualan produk MLM di bawah harga resmi yang telah ditetapkan perusahaan. Penjual-penjual di marketplace seringkali menawarkan produk dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga eceran resmi (harga katalog), sehingga menyebabkan distorsi pasar, menurunkan nilai produk, dan menciptakan ketimpangan yang tidak adil bagi mitra usaha resmi yang menjual produk sesuai ketentuan harga dan menjalankan kewajiban sesuai pedoman etika bisnis MLM.


Selain menimbulkan kerugian finansial bagi para mitra resmi, praktik penjualan produk MLM secara tidak sah dan dengan harga yang tidak wajar tersebut juga mengancam reputasi merek dan menimbulkan risiko terhadap kualitas produk yang tidak lagi dikendalikan rantai distribusinya. Tidak menutup kemungkinan produk yang dijual dengan harga murah tersebut adalah produk yang telah kadaluwarsa, rusak karena penyimpanan yang tidak sesuai standar, atau bahkan produk palsu yang menyerupai produk asli.


Masalah ini diperparah dengan tidaknya mudahnya marketplace dalam membedakan produk MLM dari produk umum lainnya, mengingat banyak produk MLM tidak memiliki identitas visual yang khas atau tidak memiliki perlindungan hukum yang cukup atas tampilan luar produknya. Dalam konteks inilah konsep trade dress menjadi sangat penting. Trade dress berfungsi sebagai identitas tampilan visual non-fungsional yang unik, seperti kemasan, warna, bentuk, label khusus, hologram, atau segel distributor, yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi produk asli dan resmi. Dengan adanya perlindungan trade dress yang kuat dan terstandarisasi, platform marketplace akan lebih mudah mengenali dan menyaring produk MLM, sehingga dapat mencegah peredaran yang tidak sah dan menjaga struktur distribusi resmi tetap berjalan sehat.


Lebih jauh, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan melarang penjualan produk MLM di online marketplace. Disisi lain penyelenggara marketplace (PMSE) diwajibkan untuk menjamin kebenaran informasi produk, menghadirkan sistem pelaporan untuk produk yang dilarang, serta melaksanakan pemblokiran atau penurunan listing terhadap produk tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Namun desawa ini banyak produk MLM beredar di platform marketplace tanpa pengawasan, sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan pemegang lisensi serta distributor resmi. Salah satu tantangan utama dalam mengatasi persoalan ini adalah tidaknya mudahnya membedakan produk MLM dari produk lain, karena kurangnya identitas visual yang kuat dan terproteksi secara hukum. Di sinilah konsep trade dress menjadi penting sebagai alat bantu identifikasi visual produk. Dengan perlindungan trade dress yang jelas dan konsisten, platform marketplace dapat membantu menyaring produk yang tidak boleh dijual secara bebas, sejalan dengan tanggung jawab mereka berdasarkan PP No. 29 Tahun 2021. Oleh karena itu maka menurut Penulis, sinergi antara perlindungan trade dress oleh pemilik merek, dan tanggung jawab filtering oleh marketplace, menjadi kombinasi penting untuk melindungi integritas model bisnis MLM, mencegah praktik cutting price yang merugikan, serta menegakkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Dalam industri penjualan langsung atau Multi Level Marketing (MLM), produk dipasarkan melalui jaringan tertutup yang mengandalkan loyalitas, eksklusivitas, dan sistem distribusi berjenjang. Produk-produk MLM umumnya memiliki karakteristik kemasan, desain, dan tampilan yang khas, yang menjadi pembeda dari produk lain di pasaran. Unsur-unsur ini dikenal dengan istilah trade dress. Trade dress merujuk pada tampilan total suatu produk atau kemasannyatermasuk bentuk, warna, tata letak, label, bahkan interior perusahaan penjual langsung yang menunjukkan identitas komersial produk tersebut.


Menurut Penulis, dalam konteks MLM, perlindungan trade dress penting karena:

  1. Produk MLM tidak dijual di toko bebas atau marketplace umum. Jika kemasan dan tampilan produk dapat ditiru oleh pihak lain, maka akan mengacaukan sistem distribusi dan merugikan mitra resmi.
  2. Dengan adanya trade dress yang unik dan terlindungi, marketplace dapat lebih mudah mengidentifikasi dan menyaring produk yang tidak boleh diperjualbelikan secara terbuka.
  3. Jika produk palsu atau dijual dengan harga di bawah standar (cutting price) menggunakan kemasan serupa, hal ini dapat menurunkan nilai merek dan merugikan perusahaan serta mitra MLM resmi.


Meskipun istilah trade dress tidak secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG), namun esensi dari perlindungan terhadap trade dress sesungguhnya telah diakomodasi dalam berbagai ketentuan pasal di dalamnya. Trade dress secara umum mengacu pada tampilan visual total dari suatu produk atau kemasan yang berfungsi sebagai identitas pembeda atas sumber produk di mata konsumen. Unsur trade dress dapat mencakup bentuk atau desain kemasan, kombinasi warna, tata letak toko, atau elemen visual lainnya yang khas dan memiliki daya pembeda (distinctiveness) serta asosiasi dengan suatu sumber barang atau jasa tertentu. Dalam konteks hukum Indonesia, prinsip perlindungan terhadap trade dress tercermin dalam:

  1. Pasal 1 angka 1 UU MIG, dimana Pasal ini mendefinisikan bahwa merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis dalam bentuk gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna dalam dua atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi oleh seseorang atau badan hukum.
  2. Pasal 20 a dan d jo. 21 ayat (1) a huruf b dan d UU MIG, dimana Pasal ini melarang pendaftaran merek apabila Merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, serta apabila Merek tersebut dapat menyesatkan masyarakat mengenai asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.


Dari pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur visual non-verbal suatu produk seperti bentuk kemasan yang khas, kombinasi warna, atau desain unik lainnya yang memiliki daya pembeda dan menunjukkan asal-usul barang dapat didaftarkan sebagai merek 3 (tiga) dimensi, merek kombinasi warna, atau kombinasi unsur grafis lainnya yang dilindungi oleh hukum merek di Indonesia.


Sebagai bahan pembanding, penulis menemukan literatur perlindungan trade dress di Amerika Serikat dan Eropa, dimana perlindungan terhadap trade dress telah berkembang secara signifikan di berbagai yurisdiksi hukum, khususnya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Amerika Serikat, konsep trade dress telah diakui dan dilindungi melalui Lanham Act (15 U.S.C. § 1051 et seq.), yang merupakan undang-undang federal utama mengenai merek dagang. Salah satu preseden penting dalam perkembangan hukum trade dress adalah perkara Two Pesos, Inc. v. Taco Cabana, Inc., 505 U.S. 763 (1992). Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa desain interior dan eksterior restoran, termasuk tata letak, skema warna, furnitur, dan dekorasi khas yang secara keseluruhan menciptakan tampilan visual unik (overall look and feel), dapat dilindungi sebagai trade dress tanpa perlu menunjukkan adanya secondary meaning, asalkan desain tersebut inherently distinctive atau memiliki keunikan yang melekat sehingga dapat langsung dikenali sebagai penanda sumber barang atau jasa.


Sementara itu, di Uni Eropa, perlindungan terhadap trade dress tidak disebut secara eksplisit, tetapi diakomodasi dalam kerangka hukum merek dagang melalui EU Trade Mark Regulation (Regulation (EU) 2017/1001). Dalam sistem ini, trade dress dapat didaftarkan sebagai figurative marks (merek bergambar) atau three-dimensional marks (merek tiga dimensi), dengan catatan bahwa tanda tersebut harus memenuhi syarat grafis (dapat direpresentasikan secara visual) dan memiliki daya pembeda (distinctiveness). Misalnya, bentuk botol parfum, desain kemasan makanan, atau tata letak toko dapat dilindungi apabila konsumen mengaitkan elemen visual tersebut dengan satu sumber tertentu. Namun, pendaftaran trade dress sebagai merek di Uni Eropa menghadapi tantangan tinggi, terutama jika desain dianggap bersifat fungsional atau terlalu umum (generic), sehingga tidak dapat berfungsi sebagai penanda asal komersial. Dengan demikian, baik di AS maupun di Uni Eropa, perlindungan trade dress bertumpu pada prinsip bahwa tampilan visual yang khas selama tidak semata-mata fungsional dan mampu menunjukkan sumber asal produk dapat memperoleh perlindungan hukum sebagaimana merek tradisional.


Keberadaan trade dress yang terlindungi secara hukum memberikan manfaat strategis yang signifikan, khususnya dalam konteks pengawasan distribusi produk Multi Level Marketing (MLM) di platform marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan lainnya. Dalam praktiknya, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh perusahaan MLM adalah beredarnya produk secara bebas di marketplace oleh pihak-pihak yang tidak berwenang, yang seringkali menyebabkan distorsi harga, merusak citra merek, dan memotong jalur distribusi resmi yang telah diatur oleh perusahaan.


Dalam hal ini, trade dress yang mencakup elemen visual khas suatu produk seperti bentuk kemasan, warna dominan, desain label, dan elemen tampilan lainnya dapat berfungsi sebagai alat bantu identifikasi yang sangat efektif. Marketplace yang dilengkapi dengan sistem deteksi berbasis gambar atau metadata visual dapat menggunakan ciri-ciri khas trade dress tersebut untuk mendeteksi dan memblokir listing yang menjual produk secara ilegal. Hal ini akan sangat membantu ketika produk tidak hanya dilindungi oleh merek kata (word mark), tetapi juga oleh penampilan total produk yang memiliki nilai pembeda tersendiri.


Dengan adanya pendaftaran dan perlindungan hukum terhadap trade dress, pemilik produk memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan laporan pelanggaran ke marketplace atau bahkan melakukan tindakan hukum terhadap penjual yang tidak sah, baik melalui permintaan takedown (penghapusan listing) kepada penyelenggara platform digital maupun melalui jalur gugatan perdata pelanggaran Merek (Pasal 83 UU MIG) dan/atau melalui jalur pidana pelanggaran Merek (Pasal 100–103 UU MIG) yang memungkinkan pemilik merek untuk menindak pelanggaran berupa penggunaan merek secara tanpa hak, termasuk penggunaan elemen visual yang identik atau serupa yang dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat. Trade dress yang kuat tidak hanya berasal dari kemasan, tetapi bisa juga meliputi keseluruhan tampilan produk atau lingkungan layanan (seperti toko, booth pameran, atau bahkan tata letak aplikasi digital), selama konsumen dapat mengasosiasikannya dengan satu sumber tertentu dan memiliki distinctiveness, baik inherently atau melalui secondary meaning.


Trade dress juga membantu memperkuat strategi distribusi eksklusif yang lazim digunakan oleh perusahaan MLM. Karena produk-produk MLM umumnya hanya boleh dijual melalui agen resmi atau jaringan distribusi tertentu, adanya trade dress yang khas dan dilindungi dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengontrol sirkulasi produk, mencegah "produk bocor" di pasar bebas, dan menjaga kepercayaan konsumen. Di sisi lain, marketplace juga diuntungkan karena dapat menghindari potensi tuntutan hukum dari pemilik merek atas penjualan barang yang tidak sah, selama mereka menerapkan sistem deteksi yang bertanggung jawab berbasis elemen visual produk.


Selain itu, penerapan trade dress yang konsisten oleh pemilik merek juga berfungsi sebagai instrumen edukasi kepada konsumen. Konsumen akan lebih mudah mengenali produk asli melalui tampilan visual yang khas, yang pada akhirnya memperkuat posisi merek dan menekan potensi peredaran barang palsu atau barang asli yang dijual secara tidak sah di luar sistem distribusi MLM.

Dengan demikian, trade dress tidak hanya berperan sebagai pelindung hak kekayaan intelektual, tetapi juga menjadi alat yang efektif dalam pengendalian distribusi dan perlindungan konsumen, khususnya di era digital dan perdagangan elektronik saat ini serta menjadi instrumen hukum dan teknis yang strategis dalam menegakkan eksklusivitas distribusi, menjaga reputasi produk, dan mendukung penegakan hukum di era digital commerce.


oleh Dr. Uus Mulyaharja, SH, SE, MH, M.Kn, CLA, CPM, CP.Arb (Pengawas Kode Etik APLI)